Senin, 02 April 2018

Lwa Gajah Bali, Wisata Religi Goa Gajah Ubud Menyejukkan Hati

Pulau Bali memang tak pernah habis untuk dieksplorasi. Beragam destinasi wisata bisa dijumpai di Pulau Seribu Pura ini. Salah satunya adalah Goa Gajah yang terletak di Desa Berukuran, Kecamatan Blah batu, Kabupaten Gianyar. 
Sebetulnya, Goa Gajah Ubud tak memiliki hubungan langsung dengan hewan bertubuh besar tersebut. Goa Gajah sendiri sesungguhnya merupakan sebuah Pura, tempat persembahyangan umat Hindu Bali. Kata Goa Gajah diambil kata 'Lwa Gajah' sebagaimana tertulis dalam lontar Negarakertagama yang disusun oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi.
Lwa bermakna sungai, sementara Gajah bermakna tempat pertapaan atau semedi. Itu sebabnya, jika ingin memasuki areal suci ini pengunjung harus dalam kondisi suci. Bagi perempuan yang sedang masa haid tak diperkenankan memasuki areal Goa Gajah. 
Selain itu, nama Goa Gajah sendiri digunakan lantaran di dalam goa terdapat patung arca Ganesha. Jika dilihat dari kejauhan, bangunan goa tersebut juga mirip dengan gajah. 
Sejumlah wisatawan mancanegara lalu lalang di sekitar lokasi. Mereka tertarik mengikuti trip wisata religi yang ditawarkan oleh agen perjalanan wisata. 
Memasuki Goa Gajah, kita hanya cukup merogoh kocek Rp15 ribu bagi orang dewasa dan Rp7 ribu bagi anak-anak. Untuk masuk ke areal Goa Gajah, kita harus menuruni anak tangga. Usai menuruni beberapa anak tangga, kita akan melihat tumpukan batu bekas bangunan yang hancur karena gempa. Batu-batu itu disusun rapi sehingga menjadi obyek wisata tersendiri. 
Di sebelah kanan terdapat tujuh air mancur suci. Pengunjung dipersilakan turun ke pancuran air ini. Tak jauh dari sini, terlihat jelas mulut goa agar kita bisa masuk ke dalam. Dengan lebar dan tinggi sekira 2 meter, kita harus antre untuk masuk ke dalam goa. 
Masuk ke dalam, goa itu mirip huruf timbul, di mana terdapat percabangan ke kiri dan ke kanan. Di dalamnya terdapat arca tempat untuk melakukan ritual persembahyangan. Total ada tujuh patung arca di dalam goa ini yang ditaruh di dalam ceruk. Pada ujung barat lorong terdapat patung arca Ganesha. Sementara di ujung lorong bagian timur terdapat tiga lingga. 
Di sekitar areal Goa Gajah juga terdapat pohon-pohon berukuran besar yang konon usianya sudah berabad-abad lamanya. Tak ayal, keberadaan pohon-pohon itu semakin membuat sejuk di sekitaran lokasi. Jika Anda tertarik ke lokasi, jarak tempuh dari Kota Denpasar sejauh 26 kilometer dan memakan waktu sekira 1 jam perjalanan. Di sepanjang perjalanan banyak penunjuk arah untuk sampai ke Goa Gajah. 
Lokasi Goa Gajah berada di sebelah barat Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatu, Gianyar. Goa Gajah terletak di tepi jurang pertemuan dari sungai kecil di desa tersebut. 

Kisah Tukang Reparasi Jam Tugu Jogja Malam Hari Tengah Malam, Mengais Rezeki Demi Adiknya yang Menderita Gangguan Jiwa

Satu tahun yang lalu tepat pada pukul 22:00 WIB di emperan toko perempatan Pingit Yogyakarta Nur Fatimah bertemu dengan sosok laki-laki tua yang mengenakan kemeja sedang membuka sebuah lapak.

Melihat fenomena yang cukup unik tersebut Fatimah memberanikan diri untuk menyapa pria tua tersebut yang diketahui bernama Projo Herwanto.

Diketahui bahwa pria yang biasa dipanggil Pak Projo tersebut sedang membuka lapak reparasi jam tangan.

Lapak tersebut sengaja ia buka di malam hari, karena di waktu pagi dan siang dirinya harus merawat adik perempuannya yang menderita gangguan jiwa.

Pertemuannya dengan Pak Projo lantas dituangkan dalam cerita yang diunggah di akun Line oleh Fatimah.



"Lahir di Yogyakarta pada 29 Agustus 1949, lelaki beruban ini bernama lengkap Projo Herwanto. Tamatan SMP 6 Yogyakarta ini mengarungi kehidupan nokturnal selama 24 tahun. Kehidupan langit gelap ia lalui bersama sepedanya. Aktivitas sehari-harinya cukup unik dan dinikmatinya sebagai suatu keberkahan tersendiri," tulisnya dalam cerita tersebut.

Selama 24 tahun menjalani profesi reparasi jam, Pak Projo tak memiliki kios.

“Wah, lha saya itu cuma mangkal pakai sepeda. Dulu pertama mangkal reparasi jam tahun 1992 di selatan Tugu," ucap Pak Projo yang dituliskan oleh Fatimah.

Sejak 2010, aktivitas mangkal reparasi jam di selatan Tugu Jogja malam hari pun harus dipindah karena larangan pemerintah.

Di kawasan Kotabaru, Pak Projo menggelar kain perlak sebagai alas alat-alat reparasi jamnya di depan Masjid Syuhada.


Ilmu reparasi jam didapatnya secara otodidak.

Bermula dari iseng-iseng, lalu berlanjut sebagai profesi hingga sekarang.

Sebelumnya, Pak Projo pernah bekerja di penerbitan majalah Djaka Lodhang dan penerbitan Taman Siswa sampai akhirnya diberi pesangon karena peremajaan perusahaan.

Pendapatan harian Pak Projo semata-mata diupayakan demi adik perempuannya.

Pak Projo adalah anak kedua dari delapan bersaudara.

Adik perempuannya, bernama Ganjar Utami (51) merupakan anak bungsu dan mengalami sakit gangguan mental sejak tahun 2003.

Ganjar diketahui telah menikah dan memiliki anak gadis, namun menurut Pak Projo ia hanya mau diberi makan olehnya.

Sejak menderita gangguan mental, Ganjar pernah dibawa ke rumah sakit jiwa untuk pengobatan.

“Adik perempuan saya itu sakit syaraf. Tidak bisa diajak komunikasi. Pernah dibawa ke rumah sakit jiwa, tapi malah disuruh operasi otak. Lha malah mati, ta?" uap Pak Projo.

Rutinitas sehari-hari Pak Projo dimulai dari Saman Blok 1, RT 3, Bangunharjo, Sewon, Bantul, menuju area jantung Yogyakarta.

Disebutkan oleh Fatimah pola kegiatan Pak Projo terkesan antimainstream karena kehidupannya dimulai dari matahari mulai condong ke barat.


Setiap sore pukul 15.00 WIB, Pak Projo berangkat ke rumah adik perempuannya di daerah Karangkajen untuk membelikan makanan untuk Ganjar.

Setiap sebelum makan, Pak Projo membasuh kedua tangan Ganjar.

Lalu, Pak Projo bersepeda dari Jalan Imogiri ke area Kotabaru.

Tak hanya sebagai tukang reparasi jam, Pak Projo juga menyulap dirinya sebagai tukang parkir di warung nasi goreng area Tugu.

Berpuluh-puluh tahun lelaki berkacamata ini hidup sendiri.

Menurut Fatimah Pak Projo pernah menikah dengan seorang janda asal Wonosari Yogyakarta, namun telah berpisah.

Istrinya ingin hidup sendiri bersama ketiga anaknya dan enggan tinggal di rumah Pak Projo di Bantul.

Hingga sekarang, ia tidak pernah berkomunikasi dengan istri beserta anak-anaknya.

Terbiasa hidup sendirian, berteman dengan kesepian, membuatnya hidup nrima.

Sebagai tukang reparasi arloji, dalam sehari ia mampu berpenghasilan sekitar 40 ribu sehari.

Belum lagi jika musim penghujan seperti awal tahun, hanya tersedia 25 ribu satu hari.

Pendapatan itu pun harus didistribusikan untuk kebutuhan konsumsi dirinya dan makan adik perempuannya.

Ia tidak pernah menyimpan uang sekarang.

“Udah tua, saya cuma tinggal meninggal saja. Pokoknya selagi mampu, saya harus keluar rumah setiap hari demi beli nasi buat adik. Ndak ada simpanan, harta nggak dibawa mati ta?” ujar Pak Projo kepada Fatimah.